( Bagian 1) Kisah Prof. Siti Patimah dalam Didikan Keras Ayah dan Kesabaran Ibu

Prof Patimah "Ayahnya selalu menanamkan satu pesan penting: “Jangan malu tidak punya, tapi malu kalau tidak sekolah.”

Wawancara Redaksi Wahdahedumagz.com (Anwar Aras) 

 

Prof. Dr. Hj. Siti Patimah, S.Ag., M.Pd  (53 tahun) tumbuh dalam keluarga sederhana yang sarat nilai. Ayahnya seorang guru yang telah memasuki masa pensiun pada saat ia lahir, sementara ibunya seorang ibu rumah tangga yang bekerja serabutan di kebun milik orang lain. “Kalau musim kopi, Ibu ikut memetik. Upahnya pun berupa kopi dalam kaleng kerupuk,” kenangnya kepada media.

Kondisi ekonomi keluarga jauh dari kata mudah. Mereka mengandalkan hasil kerja serabutan sang ibu serta pengajian anak anak  yang diasuh ayahnya di rumah. Ruang tengah rumah sengaja dikosongkan, tanpa perabot, hanya beralaskan tikar. Setiap malam, selepas Magrib hingga pukul sembilan, ratusan anak belajar mengaji kepada sang ayah. “Muridnya bisa sampai tiga ratusan. Hampir semua anak seumuran saya belajarnya di rumah,” ujarnya.

Kesederhanaan bukan hal baru bagi keluarga ini. Makanan sehari-hari adalah nasi jagung hasil tumbukan tangan ibu. Bahkan untuk satu piring nasi, adik-beradik harus berbagi dua orang. “Kalau saya bertanya, kenapa teman-teman makan nasi tapi saya makan jagung, ibu selalu menjawab: supaya kamu lebih pintar dari yang lain,” tuturnya. Jawaban yang sederhana itu di kemudian hari menjadi doa yang benar-benar terwujud.

Walau hidup pas-pasan, ayahnya sangat menjaga nilai integritas. Prinsip “jaga kepercayaan” selalu ia ulang-ulang. Jika berutang seminggu, seminggu pula dibayar. “Ayah bilang, sekali saja orang tidak percaya, seumur hidup akan sulit mendapat kepercayaan kembali.”

Dalam hal ibadah, didikan ayah sangat tegas. Ia membangunkan anak-anak sebelum adzan Subuh, membuka jendela dan memanggil satu per satu. Bila terlambat salat, ayah memukul kaki anak-anak dengan sapu, bukan tubuh bagian lain. “Beliau tegas, bukan kasar. Dan selalu mengajarkan alasan dari setiap hukuman. Setelah salat, barulah kami boleh bermain.”

Di sisi lain, ibunya adalah sosok kebalikan ayah: lembut, penyabar, penuh kasih. “Seumur hidup, ibu tidak pernah mencubit kami. Tidak pernah menyentuh kulit kami dengan marah,” ujarnya. Namun di balik kelembutan itu, ibunya memiliki keteguhan luar biasa. Setiap kali anak-anak ujian sekolah, ibunya berpuasa dan mendoakan mereka. Sampai akhir hayatnya, ketika ia wafat karena kanker lambung, ibunya tetap menjadi sumber kekuatan moral bagi seluruh anaknya.

Dalam keluarga besar berjumlah sebelas bersaudara, kondisi ekonomi membuat perjuangan semakin berat. Banyak kakaknya harus bekerja sambil sekolah: ada yang menjahit, merangkai bunga, hingga menjadi penjaga toko. Sementara Prof. Siti yang biasa di sama oleh mahasiswanya bunda prof sendiri mulai berjualan keripik buatan ibu sejak MTs, berkeliling kelas tanpa merasa malu meskipun sering diledek. “Saya ranking satu terus. Dalam hati saya bilang, saya mungkin dari kampung, tapi otak saya tidak kampungan.”

Sepatu robek yang disol berkali-kali, pakaian seadanya, hingga tak pernah memakai anting karena tidak mampu membeli semua menjadi bagian dari perjalanan masa kecil. Namun ayahnya selalu menanamkan satu pesan penting: Jangan malu tidak punya, tapi malu kalau tidak sekolah.”

 

Lanjutan tulisan bagian 2 : https://wahdahedumagz.com/bagian-2-prof-siti-patimah-jalani-hidup-dari-pedagang-keripik-buruh-pabrik-hingga-guru-besar/

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *